Sabtu, 03 Mei 2014

cerpen Sepucuk Surat


 cerpen

special untuk my sister, Adzka.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Secarik surat


Hari ini adalah hari terakhir siswa kelas 12 bersekolah di SMA Lamford. Ya, hari ke tiga mengikuti ujian nasional. Aku berjalan menuju anak tangga dengan langkah riang. Langkah ku terhenti ketika melihat seseorang sedang asik berbincang dengan teman-temannya. Ah! Aku benci orang itu! sudah mempermalukan ku! Aku mempercepat kaki ku menaiki anak tangga satu persatu menuju ruang kelas yang aku tempati selama ujian nasional berlangsung.

“Huh!” desah ku sambil melihat jam arlojinya di tangan kiri. “Masih lima belas menit lagi. Baca-baca dulu kali ya?” kata ku sambil melangkahkan kaki ke tempat duduk ku.

“Tumben datengnya pagian? Ada apa nih?” Tanya Dona, sahabat ku. Kami sudah bersahabat saat masuk ke sekolah ini. Dan kami selalu satu kelas.

“Eh enggak, mau dateng pagi aja. Kan hari terakhir harus semangat!” ujar ku. Aku lebih sering datang lima menit sebelum bel berbunyi. Entah mengapa selalu seperti itu. Mungkin sudah takdirnya?

“Oia Ka, tadi lo dicariin sama Sandy.” Ujar Dona membuat ku sedikit tersentak.

“Sandy mana?” tanyaku pura-pura tidak tau. Sebenarnya aku tau, Sandy yang di maksud Dona.

“Sandy anak IPS 2 lah siapa lagi.”

“Paling juga mau malu-maluin gue lagi Don.” Ucapku lirih.

“Hmm.. Sorry ya Ka, kalo bukan karna tantangan dari gue, lo gak bakalan malu kaya waktu itu. Lagian Sandy kok tega banget ya?” Dona merasa bersalah.

“Gak apa-apa. Yang lalu biar aja berlalu.” Ujarku tenang.

Bel berbunyi. Dona kembali ketempat duduknya. Aku mengeluarkan alat tulis ku untuk digunakan ketika ujian dimulai.
~~~

            Pagi ini langkah ku sangat malas untuk pergi ke sekolah. Pasalnya, hari ini aku harus menepati janji ku untuk melaksanakan tantangan yang diberikan oleh Dona. Perasaan ku berdebar tak menentu. Aku sibuk membayangkan bagaimana reaksi Sandy nanti.

“Gimana Ka udah buat surat nya?” tanya Dona yang tak sabar ingin membaca surat ku.

“Udah.” Jawabku singkat.

“Mana? Liat dong?!” ujar Dona semangat.

“Janganlah. Malu. Lagi pula beneran kok surat gue yang tulis dan udah gue jabarin gimana perasaan gue ke dia.” Kataku pasrah. “Nih! Nanti lo yang kasih ya.” Dona mengangguk.

Surat dibuat oleh ku untuk Sandy. Cowok yang ku sayangi selama ini. Sebenarnya aku tak berani kalo harus memberinya surat. Terlebih isi surat itu adalah ungkapan perasaan ku terhadap cowok itu. Tapi ini adalah tantangan. Dan tantangan harus dilakukan apapun resikonya bagi ku.

Kemarin, aku bermain dengan teman-teman kelas ku, termasuk Dona. Permainan ini namanya sambung kata, dan yang kalah harus memilih Turth or Dare. Kejujuran atau tantangan. Aku kalah, dan aku memilih tantangan. Tantangan itu diberikan oleh Dona. Dona menantangnya untuk menulis surat untuk Sandy, dan isinya adalah ungkapan perasaan. Tantangan yang konyol! Awalnya aku menolak. Setelah berpikir lama, aku pun mengiyakan.
~~~

            Siang ini matahari megumpat dibalik awan. Mendung. Aku dan Dona merapihkan alat-alat tulis dan bersiap pulang kerumah. Setelah selesai, aku dan Dona bergegas meninggalkan kelas.

“Itu dibawah ada apa sih? Kok rame bener ya?” kata Dona sambil melongok ke bawah.

Aku mengangkat pundak. “Gak tau. Samperin aja deh.”

Setelah sampai di lapangan, terdengar samar seseorang sedang berteriak dengan lantang. Dengan cepat aku dan Dona menyeruak dikerumunan siswa-siswa. Dan ternyata..........

            Ku coba temukan kata saat kau lewat dihadapan ku
            Kata-kata yang tak mampu ku jelaskan
            Mata ini selalu terpikat
            Rasa ini sungguh begitu sulit untuk diartikan
            Kau telah mencuri hati ku
            Kau tak pernah tau
            Aku disini selalu memperhatikan mu
            Kau tak ingin tau
            Seberapa besar perasaan ku terhadap mu
            AKU CINTA KAMU,
            SANDY
Adzka, IPA 2.

JLEB!!
Aku dan Dona ternganga mendengar suara Sandy yang begitu lantang membacakan secarik surat. Aku tersentak tak percaya ketika dia menyebut namanya. Semua mata tertuju pada ku. Ah! Itu surat yang Dona berikan tadi pagi! Sumpah ini kejadian gila! Memalukan! Aku melihat Sandy sedang tersenyum puas ditengah lapangan. Dona menarik tangan Adzka pergi meninggalkan lapangan. Aku menangis malu.

“Sorry ya Ka, gue gak tau kalo kejadiannya kaya gini.” Ujar Dona merasa bersalah.

“Gue malu! Sekarang satu sekolah tau kalo gue suka sama Sandy! Kaya cewek gak bener ngasih surat ke cowok!” kata ku marah. Sekarang, satu sekolah tau. Aku suka Sandy. Dan mungkin aku bakal dicap cewek murahan yang dengan gampangnya memberikan seorang cowok surat dan mengungkapkan perasaan. Dona berlari menuju lapangan meninggalkan ku di pos satpam depan sekolah.

Dona mencari Sandy di lapangan. Namun lapangan sudah tampak sepi. Gak ada yang bergerumul seperti tadi. Mata dona menangkap seseorang yang sedang tertawa bersama temannya.

“Sandy!” panggil Dona dan menghampiri Sandy.
“keterlaluan lo! Ngapain sih lo umbar surat dari Adzka? Lo tuh udah bikin malu! Sekrang dia nangis tuh gara-gara lo! Bikin orang drop aja! Udah tau mau ujian nasional! Bego!” cerocos Dina. Sandy hanya tersenyum simpul.

“bukan urusan gue.” Ujarnya dingin. Dona mendengus kesal.
~~~


Bel berbunyi lantang. Pelajaran ujian nasional yang terakhir. Semua murid-murid berhamburan keluar kelas. Aku berteriak riang.

“Akhirnya selesai juga! Wohooo bisa refresing nih!” kataku dengan lantang.

Dona menghampiri ku. “Seneng amat Ka.”

“Iya dong seneng! Tinggal nunggu hasil nih. Eh kita bakalan pisah dong ya?” ujar ku memelas.

“Hmm.. kayanya enggak! Gue mau kuliah di kampus yang sama kaya lo aja ah!”

“Lo serius?” tanyaku tak percaya. Dona mengangguk keras.

Aku dan Dona berjalan menuruni tangga.

“Adzka!” panggil seseorang dari koridor.

Aku menoleh. Deg! Sandy memanggil ku!

“Siapa Ka?” tanya Dona yang bingung melihat ekspresi muka ku.

“Sa.. Sandy..” ucap ku gugup.

Aku tercekat. Tak sempat melarikan diri, kini Sandy berada tepat dihadapan ku.

“Don, boleh tinggalin gue sama Adzka berdua gak?” tanyanya.

Dona menoleh kearah ku. Aku memberikan intruksi dengan menggelengkan kepala pelan.

“Lo tunggu di depan deh. Gue mau ngomong sebentar sama Adzka. Gue janji gak bakal bikin dia malu lagi kok.” Ujar Sandy berjanji.

Aku pasrah. Dona meninggalkan ku dan Sandy. Jantung ku berdegub kencang. Keringat dingin menjalar ditubuh ku. Entah apa yang akan dilakukan cowok yang ku sayang ini. Ah! Sumpah aku senang sekaligus takut! Aku menggigit bibirku. Sandy terdiam.

“Adzka. Sebelumnya sorry ya.” Ujarnya memecah keheningan. “Sorry , gue nyesel udah bikin lo malu. Bikin lo nangis.” Ucapnya lirih merasa bersalah.

Aku terdiam. Penyesalan emang selalu datang terakhir!

“Jawab dong Ka.” Ujarnya lagi. “Lo marah ya?” tanya Sandy.

Aku mendengus kasar. Kali ini akan ku jawab pertanyaannya. “Buat apa gue marah? Gak perlu lo nyesel. Gak usah merasa bersalah. Semua udah terlanjur. Mau lo guling-guling di lapangan pun gak akan bisa hapus kejadian itu.” Kata ku dingin.

Sandy mendekat. Aku mundur satu langkah.


Sandy menghela napasnya. “Gue emang gak suka sama lo. Dan gue sadar apa yang gue lakuin itu keterlaluan.” Ujarnya. “Kita bisa kan jadi temen?” tanyanya serius.

Aku tercekat mendengar ucapannya. Diluar dugaan! Aku senang, tetapi...

“Buat apa? Itu Cuma bikin gue tambah sayang dan berharap sama lo!” ujarku kasar. Aku melangkahkan kakiku meninggalkan Sandy. Namun, tangannya mencekal tangan kiri ku.

“Kalo gitu, ajarin gue buat sayang sama lo.”

“Please, gue mau pulang.” Ucapku lirih.

“Gue gak akan lepasin lo sebelum lo mau ajarin gue buat sayang sama lo.” Paksa Sandy yang makin mengencangkan cengramannya.

Aku menghirup napasku dalam-dalam dan menghembuskannya pelan.

“Kita temenan aja.” Ujar ku pelan. Nyaris tak terdengar.

Sandy melepaskan cengkramannya dan mendekatiku. “Bisa lo ulang omongan lo barusan?”

“Kita temenan. Permisi!” ulang ku dan segera melenggang pergi. Aku pikir Sandy telah puas mendengar jawaban dari ku, tapu ternyata... ia malah mengejarku dan memelukku dari belakang. Aku hanya bisa terdiam dalam pelukan ini. “Mungkin akan lebih indah jika aku dan Sandy bersahabat. Yap! Semoga saja!” Ujar ku dalam hati.